SepintasInfo, Tingkat pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan dilaporkan ada hampir 10 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) yang tidak memiliki kegiatan.
Ironisnya, tidak hanya banyaknya usia muda yang menganggur, kini juga banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di banyak pabrik-pabrik dalam negeri. Terbaru, pabrik sepatu Bata yang memutuskan menutup pabriknya di Purwakarta dan menyebabkan sekitar 233 orang karyawan kehilangan pekerjaannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia. Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda.
Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang harusnya tengah di masa produktif. Gen Z merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 12-27 tahun.
Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang berstatus NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
BPS mendefinisikan NEET sebagai penduduk usia 15-24 tahun yang berada di luar sistem pendidikan, tidak sedang bekerja, dan tidak sedang berpartisipasi dalam pelatihan. Hal ini mengindikasikan adanya tenaga kerja potensial yang tidak terberdayakan.
Alasan-alasan yang membuat anak muda masuk ke dalam kategori NEET antara lain putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, dan kewajiban rumah tangga.
Sementara banyaknya perempuan muda yang masuk ke dalam NEET sering kali terkait dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan domestik seperti memasak dan membersihkan rumah, yang menghalangi mereka untuk melanjutkan sekolah atau memperoleh keterampilan kerja.
Tidak hanya bagi usia muda, pekerja pun kini tengah kesulitan menghadapi badai PHK yang sedang terjadi. Khususnya dari sektor industri tekstil.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air setidaknya mencapai 1 juta orang.
“Sejak kuartal keempat tahun 2022, PHK di industri tekstil itu ada mencapai 1 juta sebenarnya. Itu kalau kita hitung dari utilisasi pabrik,”pada Selasa (19/3/2024).
Perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan anjloknya permintaan di pasar-pasar ekspor utama produk TPT Indonesia jadi salah satu pemicu maraknya PHK. Ditambah lagi, serbuan barang TPT impor, baik legal maupun ilegal, sehingga mengikis porsi pasar bagi industri di dalam negeri.
“Waktu utilisasi kita 80%, tenaga kerja langsung itu ada 3,7 juta orang. Ini di industri TPT ya. Ketika kemarin turun ke 45%, sebenarnya tenaga kerja itu berkurangnya ada 1 juta orang. Ini sejak tahun 2022,” paparnya.
Pabrik Industri TPT Terancam Tutup
Kini industri TPT juga mau menghadapi guncangan akibat aturan impor yang baru. Dari aturan impor yang terbaru yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, dinilai bakal menggerus industri dalam negeri.
Aturan ini merelaksasi lagi kebijakan impor atas sejumlah produk, seperti pakaian jadi dan elektronik, yang sebelumnya kena syarat peraturan teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Langkah pemerintah ini kemudian disebut akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur dalam negeri, terutama industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Iya, ini memang pemerintah aneh. Bulan Oktober (2023), atas arahan Presiden, Menko Perekonomian jumpa pers pengendalian impor untuk mengantisipasi badai PHK. Aturannya baru jalan 2 bulan sudah kembali ke aturan lama lagi,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, Kamis (23/5/2024).
“Malah lebih dibuka impornya,” tukasnya.
Hal itu, ujar dia, menunjukkan tidak konsistennya pemerintah RI. Efek terburuk, akan memicu pukulan beruntun ke sektor manufaktur RI.
“Ini yang selalu kami sebut inkonsistensi kebijakan pemerintah. Jadi jangan harap investasi sektor manufaktur naik. Yang ada 1 per satu perusahaan tutup dan PHK karyawan,” kata Redma.
“Kebijakan ini akan mendorong deindustrialisasi. Bukan hanya di TPT, tapi di semua sektor yang direlaksasi,” sebutnya.
sumber:cnbcindonesia.com
More Stories
Harga Tiket Pesawat Turun 10%, periode Natal dan Tahun Baru 2024-2025
Naik 6,5%, Begini Perkiraan UMP Tahun 2025 di 38 Provinsi
Jalan Tol Pertama di Pulau Kalimantan yang Panjangnya 97,27 Kilometer, Jadi Pendukung Konektivitas Kawasan IKN