SepintasInfo, Situasi air hujan sekarang berbeda dengan 20, 50, dan 100 tahun lalu. Pada masa lalu, masyarakat mengandalkan air hujan sebagai konsumsi sehari-hari. Hujan ibarat filter alami, di mana air yang awalnya kotor di permukaan bumi kemudian akan bersih saat lewat proses penguapan dan turun hujan.
Alhasil, warga akan menampungnya untuk dipakai konsumsi. Warga juga santai saat menghadapi hujan karena tidak akan merasakan sakit, apalagi karena air hujan masih bersih, tidak terkontaminasi zat berbahaya.
Berbeda dengan sekarang. Hujan mengandung asap kendaraan dan pabrik, bahkan plastik. Bagaimana bisa?
Fakta ini bukan bualan semata dan memang benar terjadi. National Geographic pada 2019 pernah menurunkan laporan berjudul “Microplastics Are Raining Down From the Sky”. Laporan tersebut berisi paparan kalau di Gunung Pyreness, Prancis Selatan, terdapat 365 partikel mikroplastik tiap kilometer persegi setiap hujan turun. Jumlah ini semakin meningkat seiring dengan besarnya hujan turun.
Jika berpikir itu tidak terjadi di Indonesia karena letaknya jauh, maka 100% salah. Ini juga bisa terjadi di tanah air. Tim dari Institut Pertanian Bogor pada Januari 2022 lalu mempublikasikan riset berjudul “The Deposition of Atmospheric Microplastic in Jakarta-Indonesia: The Coastal Urban Area”. Riset itu dipublikasikan di jurnal ilmiah, Marine Pollution Bulletin.
Hasilnya menunjukkan kalau di tiap tetes air hujan yang turun di Jakarta terdapat kandungan mikroplastik. Mikroplastik itu terdeteksi berukuran 500-1000 mikrometer. Menurut riset Xao Zhi Lim berjudul “Microplastic Are Everywhere-But Are They Harmful?” (Nature, 2021), dalam uji laboratorium mikroplastik dapat membuat hewan mengalami gangguan imunologi. Beruntungnya, sejauh ini belum ditemukan efek berbahaya mikroplastik bagi manusia.
Namun, riset “A rapid review and meta-regression analyses of the toxicological impacts of microplastic exposure in human cells” (April, 2022) menyampaikan hal berbeda. Saat mikroplastik diserap tubuh terjadi reaksi yang membuat manusia mengalami kerusakan sel yang menghasilkan reaksi alergi.
Namun ada sedikit kabar baik. Saat ini belum ada studi epidemiologi skala besar antara paparan mikroplastik dan dampaknya terhadap kesehatan.
Awal mula ada fenomena hujan plastik
Dalam ilmu geografi, terjadi siklus alamiah bernama ‘siklus air’. Singkatnya, air yang ada di bumi akan menguap terpapar sinar matahari. Kemudian, terbentuk sekumpulan awan hingga akhirnya turun hujan.
Siklus ini tidak dapat dicegah, alias takdir alamiah. Masalahnya, kondisi air di era sekarang dipenuhi oleh sampah plastik.
Sampah plastik menutupi permukaan lautan, sungai dan got. Mengutip Washington Post, Indonesia sendiri berkontribusi terbesar terhadap keberadaan sampah plastik di lautan pada 2021, dengan 8 juta ton plastik mengapung di lautan setiap tahunnya.
Sebagai benda yang sulit terurai, plastik akan terus berada di air. Namun, tidak selamanya berada dalam kondisi utuh. Ada yang terpecah-pecah menjadi bagian kecil. Pecahan-pecahan tersebut kemudian disebut mikroplastik yang tidak terlihat secara kasat mata, tetapi berada di air.
Masalah makin besar ketika mikroplastik itu berubah menjadi partikel kecil bernama nanoplastik. Saat terjadi siklus air tersebutlah, plastik-plastik tersebut ikut serta ke langit dan turun sebagai hujan di berbagai tempat.
Saat ini terjadi maka makhluk hidup sendiri yang tertimpa marabahaya. Plastik tersebut menempel di manusia, tumbuhan dan hewan hingga akhirnya diserap. Karena ini juga secara tidak langsung manusia mengonsumsi plastik yang terserab di tubuh hewan dan tumbuhan. Ketika semua terjadi maka makhluk hidup sendiri-lah yang tertimpa apes.
Siklus air tidak dapat dihindari. Maka solusi satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengurangi penggunaan sampah plastik, meskipun itu sangat sulit dilakukan.
sumber:cnbcindonesia.com
More Stories
Banyak Long Weekend! Daftar Hari Libur & Cuti Bersama 2025
Bruno Mars Bakal Konser di Jakarta, Sandiaga Uno Bilang Gini
Konser Bruno Mars Kena Boikot, Deretan Penyanyi Ini Pro Israel