December 12, 2024

Rebut Sumber Dolar Indonesia, Malaysia Terancam Krisis

SepintasInfo, Malaysia digadang-gadang sebagai ‘raja’ pusat data (data center) selanjutnya di kawasan Asia Tenggara, menggantikan Singapura. Hal ini terlihat dari banyaknya raksasa teknologi asing yang berinvestasi besar-besaran ke tetangga RI untuk membangun data center penunjang teknologi kecerdasan buatan (AI).

Meski booming data center membantu ekonomi Malaysia, tetapi kekhawatiran muncul terkait kapasitas energi dan air di negara tersebut.

Riset Bank Investasi Kenanga memprediksi kebutuhan listrik dari data center di Malaysia akan mencapai 5 gigawatt pada 2035.

Saat ini, kapasitas listrik yang diinstal untuk keseluruhan Malaysia ‘hanya’ 27 gigawatt, menurut perusahaan listrik Malaysia Tenaga Nasional Berhad.

Otoritas lokal sudah mengemukakan isu kapasitas yang bisa menimbulkan krisis listrik di Malaysia, menurut laporan The Straits Times.

Menurut laporan, Walikota Johor Bahru Mohd Noorazam Osman mengatakan investasi data center tak boleh mengesampingkan kebutuhan sumber daya bagi masyarakat sekitar. Apalagi kota tersebut menghadapi tantangan sumber daya air dan listrik.

Sementara itu, pejabat Komite Investasi, Perdagangan, dan Konsumen Johor Bahru mengatakan pemerintah harus memberikan panduan yang jelas terkait implementasi penggunaan data center energi hijau di kota tersebut.

Johor Bahru memang menjadi area yang difokuskan sebagai hub data center baru di Malaysia. Perusahaan data center intelligence, DC Byte, melaporkan Johor Bahru sebagai kota dengan pertumbuhan pasar data center terbesar di Asia Tenggara.

“Sepertinya dalam beberapa tahun ke depan, [Johor Bahru] sendiri akan menggeser Singapura sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara dari nol besar pada 2 tahun lalu,” kata Director APAC DC Byte, James Murphy, Kamis (20/6/2024).

Ke depan, Malaysia digadang-gadang akan mengalahkan kapasitas data center di negara-negara lebih besar seperti Jepang dan India.

Hingga kini, Jepang diikuti Singapura masih menjadi penyedia kapasitas data center terbesar yang sudah online.

Jepang, Singapura, dan Hong Kong memang menjadi negara-negara yang memiliki infrastruktur data center paling mumpuni saat ini. Kendati demikian, pandemi global yang meningkatkan adopsi cloud membuat banyak permintaan kapasitas ke pasar-pasar yang tengah bertumbuh seperti Malaysia dan India.

“Permintaan lebih besar untuk streaming video, penyimpanan data, dan berbagai kegiatan di internet, berarti akan lebih banyak kebutuhan untuk data center,” kata Murphy.

Terlebih lagi, layanan AI yang tengah booming membutuhkan syarat dan ketentuan data center yang lebih spesifik dan mampu melayani pengolahan data lebih besar.

Menurut Murphy, negara-negara dengan pasar yang sedang berkembang menjadi menarik bagi investasi data center dengan karakteristik khusus.

Data center AI membutuhkan ruang lebih besar, begitu juga energi yang digunakan dan volume air sebagai sistem pendingin. Untuk itu, negara berkembang seperti Malaysia yang memiliki kekayaan energi dan lahan akan menjadi tujuan para investor dunia.

Raksasa Teknologi Dunia Pilih Malaysia Ketimbang Indonesia

Pada tahun ini, beberapa raksasa teknologi dunia mengumumkan investasi besar untuk membangun fasilitas AI di Malaysia. Padahal, Indonesia memiliki potensi pasar AI yang lebih besar dilihat dari jumlah populasinya.

Hal ini memunculkan asumsi bahwa Indonesia masih dilirik sebagai pasar semata, bukan tempat untuk mengembangkan teknologi canggih.

Berikut beberapa perusahaan teknologi yang lebih banyak berinvestasi ke Malaysia ketimbang Indonesia.

Google

Pada awal bulan ini, Google menyatakan komitmen investasi sebesar US$2 miliar (Rp 32,5 triliun) di Malaysia.

Investasi tersebut akan digunakan untuk membangun pusat data dan wilayah cloud pertama di negara tersebut, seiring dengan meningkatnya permintaan AI dan layanan cloud regional.

Cloud regional Malaysia adalah tambahan dalam jaringan Google yang mencakup 40 wilayah dan 121 zona di dunia.

Di Indonesia, Google baru-baru ini mengumumkan 10.000 beasiswa pelatihan AI, tetapi tak ada komitmen investasi serupa di Malaysia.

Google juga sudah bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi dan berkomitmen membantu pemerintah memberantas judi online dengan fitur AI Google.

Microsoft

Microsoft mengatakan akan berinvestasi US$ 2,2 miliar atau Rp 35,8 triliun untuk ekspansi infrastruktur AI di Malyasia. Di Indonesia, komitmen Microsoft lebih kecil, yakni US$ 1,7 miliar atau Rp 27,7 triliun untuk fasilitas dan talenta AI.

CEO Microsoft Satya Nadella bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo pada akhir April 2024 lalu saat pengumuman investasi diungkap ke publik.

ByteDance

Terbaru, ByteDance yang merupakan induk TikTok, berencana menggelontorkan dana US$ 2,13 miliar atau sekitar Rp 34,7 triliun untuk membangun pusat AI di Malaysia.

Hal tersebut diumumkan langsung oleh Menteri Perdagangan Malaysia pada pekan lalu. Sebagai bagian dari kesepakatan, ByteDance akan mengekspansi fasilitas pusat data di Johor, melalui investasi tambahan senilai 1,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 5,2 miliar.

Alasan Asing Ramai-ramai Serbu Malaysia

Dalam laporan CNBC International, disebut bahwa kemudahan investasi data center di Malaysia menjadi faktor pendorong banyaknya raksasa teknologi yang menggelontorkan modal ke sana.

Hal ini juga sempat diutarakan Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma, beberapa saat lalu. Ia menyebut Malaysia memberikan banyak insentif untuk pelaku data center. Bahkan, untuk perusahaan yang menggunakan teknologi green, insentif yang diberikan lebih banyak.

“Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya,” kata Hendra dalam Profit di CNBC Indonesia, beberapa saat lalu.

Malaysia juga melakukan pemangkasan birokrasi yang memudahkan investasi bisnis saat masuk ke negaranya.

Di Malaysia, perusahaan asing bisa hanya menggunakan high level design untuk mendapatkan izin membangun. Sementara di Indonesia harus sampe ke detil engineering design, yang artinya memakan waktu dan biaya yang tidak murah.

Di sisi lain, kalau saja Indonesia juga fokus dengan renewable energy, banyak sekali perusahaan yang berbasis di Amerika Utara dan Eropa Barat yang bersedia untuk melakukan kerjasama pembangunan data center.

Karena negara-negara tersebut fokus ke ESG (Environmental, Social and Governance), dan mereka ada komitmen Paris Accord. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan energi terbarukan, bisa mendorong tumbuh kembangnya industri data center.

“Banyak investor di Amerika Utama dan Eropa Barat fokus terkait ESG nya jadi mereka juga fokus bagaimana energy yang di supply di data center ini didapat dari sumber yang green atau less emissions karbonnya,” jelasnya.

Selama investor melihat negara stabil secara politik, juga mendukung industrinya untuk bisa bertumbuh seperti lewat insentif pajak, kemudian ada green initiative insentif, akan mendorong mereka untuk masuk ke negara tertentu.

sumber:cnbcindonesia.com