December 12, 2024

Menggali Pemikiran Capres Di Sektor Minerba

SepintasInfo, Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalimat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) itu merupakan pengakuan dari para founding fathers kita atas kekayaan dan pentingnya sumber daya alam bagi rakyat Indonesia.

Hal ini tentu juga identik dengan pertambangan dan industri-industri terkait yang juga merupakan salah satu isu penting serta menjadi sorotan dalam Pemilihan Presiden 2024. Ketiga calon presiden, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, memiliki pandangan dan program yang berbeda-beda terkait dengan sektor ini.

Pertanyaannya, apakah sumber daya alam (SDA) masih menjadi fokus utama, yang dahulu selalu digaung-gaungkan sebagai ”harta” bangsa Indonesia? Ataukah masih menjadi sebatas kalimat dan pesan pelengkap?

Calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan SDA dan pelestarian lingkungan melalui pendekatan keadilan ekologis berkelanjutan. Ia berjanji akan mendorong pengembangan energi terbarukan, menghentikan praktik pertambangan ilegal, dan memberdayakan masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan pertambangan.

Hal ini penting dalam mengatasi kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja hijau (green jobs), khususnya yang padat karya, dengan korporasi dari dalam negeri menjadi motor penggerak utamanya. Kritik mengenai kebijakan pemerintah yang dinilai belum adil dan belum transparan juga dilontarkan dalam pengelolaan SDA.

Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, menyoroti potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam hal SDA sebagai nilai tambah dalam negeri. Komitmen untuk menjaga kelestarian dan keindahan alam Indonesia juga disebutkan dengan cara menerapkan konsep ekowisata, melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra, dan mengedepankan prinsip-prinsip lingkungan, alam, dan budaya yang harmonis.

Tentu, hal ini tidak lepas dari pemerataan dan pertumbuhan ekonomi melalui pemakmuran desa di sekitar tambang untuk menjadi pendorong, di mana pemberantasan kemiskinan dapat lebih cepat dilakukan.

Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menawarkan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang mandiri dalam hal energi dan SDA. Produksi dan ekspor komoditas strategis, seperti pertambangan, juga direncanakan untuk ditingkatkan.

Hal ini dapat dicapai berbarengan dengan insentif dalam inovasi, teknologi, dan juga peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan serta kesejahteraan dan perlindungan ketenagakerjaan.

Pandangan negatif pertambangan

Namun, ada beberapa masalah dan juga hal negatif yang masih muncul sampai dengan saat ini serta menjadi penghambat dan juga momok bagi industri pertambangan, yaitu polusi udara, pencemaran tanah dan air, dan perubahan ekosistem.

Batubara memang masih menjadi primadona untuk pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia, baik untuk pembangkit listrik (PLTU) maupun pabrik (retail). Hal ini tentu berkaitan dengan proses yang tidak singkat dalam pengonversian bauran energi yang ada untuk peningkatan persentase terhadap energi terbarukan yang saat ini baru 12,5 persen (ESDM, 2023).

Sementara itu, pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan juga fasilitas-fasilitas pendukung terkait energi dan teknologi sangat membutuhkan bahan baku mineral yang hanya bisa disediakan melalui aktivitas pertambangan.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, hal itu dimungkinkan melalui pemanfaatan teknologi high efficiency low emissions(HELE), carbon capture and storage(CCS), dan menggabungkan pasokan listrik dari energi terbarukan dalam bauran energi.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mendorong sistem jaringan listrik pintar terintegrasi (integrated smart grid system) di ASEAN, yang dapat membantu penyebaran dan efektivitas energi, serta distribusi energi dari sumber lain, seperti energi terbarukan, termasuk peningkatan potensi pertumbuhan bisnis, industri, dan kualitas hidup di wilayah yang terhubung.

Selain itu, penciptaan sovereign wealth fund (SWF) atau dana abadi khusus dari SDA juga penting dilakukan untuk diversifikasi penelitian, pengembangan serta investasi energi, penguatan pengelolaan fiskal jangka panjang negara, dan pelestarian kekayaan hidrokarbon.

Semua sepakat bahwa dekarbonisasi untuk menuju zero emission harus dilakukan, salah satunya dengan pendanaan melalui carbon trading dan carbon tax. Sebagai tambahan, diversifikasi lahan pascatambang, melalui program just transition, dapat mendorong ekonomi daerah dan mengurangi ketergantungan pada pertambangan.

Konsep ini mengacu pada proses transformasi sektor pertambangan dari yang bergantung pada bahan bakar fosil menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan sosial, dan dapat menjadi solusi untuk mencegah kutukan SDA yang umumnya terjadi pada negara ”kaya”. Hal ini juga sejalan dengan praktik ekonomi lokal yang dipimpin oleh industri ekstraktif/extractives-led local economic diversification (ELLED).

Namun, penting untuk menekankan pelibatan pekerja, komunitas, pemerintah, dan industri, sebagai para pemangku kepentingan, untuk merancang dan mengimplementasikan proses transisi yang adil dan inklusif.

Hilirisasi sebagai kunci utama

Ketiga capres sepakat bahwa peningkatan serta kemajuan ekonomi adalah hal yang penting. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan nilai tambah dalam ekstraksi ataupun melalui hilirisasi dengan penerapan environmental, social, governance (ESG). Hal ini sempat disebutkan oleh cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, pada debat cawapres yang lalu, serta didorong melalui pelarangan ekspor bahan baku mineral melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Pembangunan smelter menjadi opsi yang harus dilakukan bagi perusahaan-perusahaan pertambangan dan juga perusahaan penjualan mineral untuk dapat terus beroperasi dari pendapatan hasil penjualan komoditas tersebut.

Secara jangka pendek, tentu ini berimplikasi pada penurunan pendapatan negara yang berkorelasi dengan pembatasan anggaran. Namun, dalam jangka panjang, dampaknya adalah transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi, serta nilai tambah komoditas yang lebih besar, yang juga sangat terkait dengan industrialisasi.

Selain itu, prioritas terhadap mineral perlu diperluas, tidak hanya nikel dan kobalt yang sedang tren lantaran mobil listrik, untuk menggali potensi yang lebih maksimal, serta penyediaan infrastruktur pendukung.

Di lain sisi, pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memiliki keprihatinan bahwa insentif yang diberikan dianggap lebih menguntungkan investor dan pekerja asing, walaupun kerusakan lingkungan dari aktivitas ekstraksi, pencemaran lingkungan pabrik smelter, dan emisi gas rumah kaca masih terjadi dan tak terhindarkan.

Di lain pihak, Prabowo Subianto sangat ingin menghindari middle income trap, yaitu kondisi suatu negara telah mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi kesulitan meningkatkan pendapatan lebih lanjut dan menjadi negara maju. Istilah ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang telah berhasil melakukan industrialisasi, tetapi belum mampu melakukan inovasi dan transformasi ekonomi.

Poin ini bisa terjadi khususnya karena proses yang lama untuk kebijakan strategis, mulai dari pembuatan undang-undang, termasuk peraturan-peraturan turunannya, sebelum bisa dilakukan implementasi secara penuh, seperti yang diutarakan oleh cawapres nomor urut 3, Mahfud MD. Ganjar juga memiliki perhatian yang sama, dengan penekanan lebih pada mitigasi dan adaptasi serta pembenahan sistem rantai pasok.

Isu pertambangan dan SDA selalu menjadi hal yang menarik dan sensitif dari dahulu kala. Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens menyatakan bahwa selama ada umat manusia di muka bumi ini, kerusakan dan perubahan pada alam akan terus terjadi, walaupun skalanya bisa berbeda-beda.

Pertanyaan dan juga pilihan terakhirnya adalah, apakah SDA Indonesia akan tetap menjadi obyek pemakmuran masyarakatnya secara ekonomi saja, atau sama-sama menjadi subyek yang berdampingan dalam kehidupan bangsa? Ini hanya dapat dijawab oleh para pemimpin bangsa, tidak hanya pada rancangan kebijakannya, tetapi juga implementasi serta dukungan dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

sumber:kompas.id